Iklan: Siapa yang Bodoh?

by 7:13:00 am 0 comments
Di majalah Ekonomi Rajat (1939) terbit iklan Wybert, yakni "Djampi ingkang mustadjab pijambak toemrap sakit gorokan, pilek, watoek, serak, l.s.s.". (Obat yang mujarab untuk menyembuhkan sakit tenggorokan, pilek, batuk, serak, dan lain-lain).

Obat ini dikemas dalam kaleng seperti kotak pastiles zaman sekarang, dengan "Tjap inten tiga". Setiap iklan terdiri dari tiga bagian berurutan, masing-masing menceritakan "bal-balan ingkang rame sanget. Sami kijatipun. Sami pinteripun. Ingkang ningali ngantos megeng napas". (Pertandingan sepak bola yang sangat seru. Sama kuat dan sama pintarnya. Yang menonton sampai menahan napas).

Pada bagian kedua, "Ingkang ningali gembira. Soerak-soerak, mbotohi sawoengipun pijambak". (Para penonton bergembira. Bersorak-sorak, menjagoi kesebelasannya masing-masing).

Bagian ketiga, "Achmad kraos sakit gorokanipun. Soelaiman tjaritos 'Nja! ngemoeta Wybert kaloro!". (Achmad merasa tenggorokannya sakit. Sulaiman berkata, nih, minumlah Wybert). Ilustrasinya menggambarkan suasana pertandingan sepak bola dengan penonton yang berteriak-teriak termasuk Achmad dan Soelaiman yang berjas dan mengenakan kopiah rapi. Rupanya lantaran berteriak habis-habisan si Achmad menjadi serak dan Soelaiman menawarkan Wybert.

Di bagian lain bercerita, "Kapal bidal-lampahan tebih dateng Mekah sampoen dipoen wiwiti...". (Kapal
berangkat-perjalanan jauh menuju Mekah dimulai...) Bagian dua, "Kadir kraos kirang saketjo, lesoe, sedih-maboek laoet? Kenging poenopo?". (Kadir merasa kurang enak badan, lesu, sedih-mabuk laut? Karena apa?). Bagian ketiga, "Kadji Oesman sampun asring lelajaran, ngertos srananipoen; Mangano Wybert! Men seger lan waras". (Haji Usman sudah sering bepergian naik kapal, mengerti obatnya; minumlah Wybert. Biar segar dan sehat!). Ilustrasinya menggambarkan suasana pelayaran dalam sebuah kapal.

Dan gambaran yang lebih eksplisit dari kualitas obat ini berbunyi: "Nalika Achmad bidal, benteripoen ngepleng, nanging wangsoelipoen djawah deres. Ingkang estri witjanten: wah kok kleboes. Ati-ati, lo, mengko pileg!", (Ketika Achmad berangkat panasnya bukan main, tapi pulangnya hujan turun sangat deras. Wah, basah semua. Hati-hati, nanti pilek!), lalu diakhiri dengan: "Enja dahar tablet Wybert ka loro, wong Wybert nolak lelara!". (Ini, minumlah Wybert, karena Wybert bisa menolak sakit).

Sementara pada tahun 1941, di Almanak Bale Poestaka (Volksalmanak Djawi) terbit iklan sabun mandi Lifebuoy, yang menggambarkan secara karikatural seorang lelaki muda berjas, bersarung, berkopiah, duduk diapit dua perempuan berkain panjang. Si lelaki tersenyum jumawa mengisap sebatang rokok. Gadis yang satu menyalakan api untuk si laki-laki, satunya menyodori segelas minuman, sementara di belakangnya tampak dua lelaki lain melotot terkagum-kagum, diimbuhi keterangan: "Kanapa si Amat ditjintai oleh gadis-gadis? Kanapa gadis-gadis soeka melajankannja? Karena ia tjantik parasnja...Karena ia haroem baoenja...Sebab...ia senantiasa mandi dengan Lifebuoy".

Iklan literer

Volksalmanak Djawi adalah salah satu buku seri terbitan Balai Pustaka, berisi berbagai informasi praktis. Sebutlah seperti jadwal kereta, petunjuk pariwisata, penanggalan atau kalender, pelayanan pos, artikel kesehatan, profil usaha, artikel seni-budaya, olahraga, cerita pendek, cerita anak-anak, informasi tentang sekolahan, aktivitas perempuan, cerita (saduran) wayang, anekdot ringan serta teka-teki (cangkriman).

Lantaran dijual murah, serial ini sangat laris hingga konon beberapa nomornya pernah terjual 10.000 eksemplar. Di situ juga dimuat berbagai "adpertentie" (iklan) bermacam-macam produk. Sementara majalah Ekonomi Rajat merupakan media berbahasa Jawa (beraksara Latin dan Jawa), terbit di Batavia.

Contoh-contoh iklan di masa awal perkembangannya di Indonesia itu merupakan bentuk iklan yang mengacu para paradigma "literer", yakni bentuk komunikasi yang bersandar pada bahasa verbal yang tertulis dan tercetak. Namun, bahasa "tulis" di situ tidak menunjuk pada tradisi "tulis" dalam arti tingkat keberaksaraan masyarakat yang tinggi karena hingga tahun 1940-an, menurut WF Wertheim, masyarakat yang melek huruf di Indonesia tak lebih dari dua persen.

Paradigma "literer" yang dimaksud adalah bahwa komunikasi dalam teks cetak merupakan tindak komunikasi yang membutuhkan intensitas intelektual. Dibutuhkan keleluasaan ruang dan waktu dalam kegiatan membaca karena membaca adalah suatu kegiatan yang terisolir, soliter, dan memerlukan konsentrasi lebih ketimbang mendengarkan radio atau menonton televisi.

Menghadapi selarik kalimat, sejumput paragraf, sebuah berita atau artikel, pada dasarnya kita sedang berhadapan dengan proposisi yang mengandung alur logika tertentu. Dalam tulisan yang tercetak, setiap kalimat adalah suatu pernyataan yang bisa diuji ulang, dicari relevansinya dengan kenyataan yang diacu dan diusut arah logikanya secara berulang-ulang guna menguji koherensinya. Dalam iklan "literer" yang penting bukan "kebenaran" faktualnya, melainkan bagaimana proses penyusunan proposisi tahap demi tahap sehingga penyimpulannya menjadi logis.

Halnya berbeda dengan media audio atau audio-visual yang membutuhkan pemahaman dalam waktu singkat dan serempak. Pernyataan dalam radio atau televisi cenderung berlangsung dengan cepat, dan sebelum semua tertangkap dengan baik, pernyataan yang lain sudah menyusul dengan cepat pula. Alhasil, yang tertangkap adalah rangkaian pernyataan atau tampilan yang bertumpuk-berkelindan, seperti kain perca pada sebuah dinding yang sukar ditemukan batas dan konteksnya.


Iklan tipografis-visual

Pada awalnya iklan memang sejenis penjelasan fungsi produk dengan informasi yang akurat, gamblang, dan koheren. Kemudian ia beranjak pada penampilan estetis guna memunculkan makna individual bagi konsumen atas produk yang dikonsumsinya sehingga iklan sering tampak simbolik. Setelah itu iklan cenderung melakukan personalisasi seperti iklan Chevrolet tahun 1950-an (di Amerika) yang mengatakan bahwa mobil tersebut sebagai "lebih dari sekadar mobil-sudah seperti anggota keluarga". Di situ bahasa iklan kadang tampak akrab, ringkas, bahkan puitis.

Kemudian, iklan berkembang menuju penampilan gaya hidup dan pembentukan identitas, dan yang terakhir iklan menjadi permainan imajiner sehingga tampak fantastik, liar, dengan gagasan-gagasan gila, unik, dan kadang tidak masuk akal. Pada tahap ini iklan adalah sebuah permainan citra yang menyeret penonton ke pusaran ekstase visual yang memabukkan, di mana koherensi, alur logika, dan konteks menjadi tidak penting lagi.

Pada tahap terakhir ini (bentuk) bahasa tipografis-visual telah menggantikan (bentuk) bahasa "literer". Tapi jika kita bandingkan iklan Wybert dan Lifebuoy yang terbit lebih dari 60 tahun silam itu dengan iklan Indonesia sekarang, rupanya bentuk "tipografis-visual" tidak benar-benar menggeser paradigma "literer".

Iklan televisi kita sekarang ternyata tidak bertumpu pada bahasa visual, melainkan lebih bersifat "literer" sehingga cenderung verbal, cerewet, bertele-tele dan menggurui; seolah- olah kita sedang berhadapan dengan buku atau diktat dan bukannya televisi (sebagai kotak gambar hidup). Bahasa iklan cetak kita sekarang pun belum berkembang menuju bentuk yang metaforik, simbolik, atau imajiner-puitik.

Apa boleh buat, ternyata tak banyak perkembangan yang berarti pada iklan kita. Iklan kita kini memang tampak lebih canggih, seksi, dan gemerlapan, namun belum beranjak ke mana-mana. Iklan "tipografis-visual"-nya masih terpenjara oleh bahasa "literer" yang verbal dan cerewet-menjelas-terangkan. Ia tak ubahnya juru khotbah yang berhadapan dengan khalayak yang (dianggap) bodoh, sementara iklan "literer"-nya juga sangat miskin eksplorasi bahasa.

Tapi, konon iklan semacam itulah yang dibutuhkan pihak produsen karena terbukti sangat "menjual". Dan, yang baik bagi produsen konon juga baik buat konsumen.

Akan tetapi, benarkah konsumen kita memang benar-benar bodoh ataukah itu hanya anggapan para pembuat iklan saja? Atau jangan-jangan ini bukti ketidakpahaman para pembuat iklan yang memperlakukan media "tipografis-visual" televisi dengan cara "literer"? Lalu siapa yang bodoh? Tanya, kenapa!

Wicaksono Adi Pemerhati Masalah Seni dan Budaya, Tinggal di Jakarta

Unknown

Developer

Seorang pemuda Indonesia berjiwa Nasionalis-Agamis. Pencinta Komputer serta dunia troubleshootnya.

0 comments:

Post a Comment